![Hasil gambar untuk cincin seorang diri dari cerai](https://percikaniman.id/wp-content/uploads/2015/01/cerai.jpg)
Sumber gambar: google.co.id/ percikan iman online
“Neng …” Ian masuk tanpa salam.
Dyah melirik kaget, menumpahkan air kopi yang sedari tadi diminumnya. “Loh? Tumben pulang
cepet?”
”Kamu apa-apaan sih, Neng?” suaranya terhenti, tetiba
dalam hati berbisik harus tahan dan
pura-pura tidak tahu. Namun, ia pun tak bisa bungkam begitu saja. Sesak
amarahnya menggumpal seperti bola salju yang siap dilempar. “Ada apa kamu sama
Yoga?” teriaknya membari membanting pintu.
Jebreet. Suara bantingan pintu itu terdengar hingga ke tetangga.
Satu-dua tetangganya mulai menengok ke arah sumber suara, sebagian yang lain
memilih menguping.
Saat waktu bersamaan, Kifa datang bersama ibu mertua
juga adiknya. Tak lupa pula anaknya dalam gendongan. Ia menyusup masuk tanpa
permisi, tinggalkan pertanyaan yang membekas dihati. “Duh, ada apa ayah? Kayanya,
akan ada perang saudara nih.” Bisik suara tetangga.
Kifa menghiraukan keramaian. Emosinya memuncak bak gunung mengeluarkan
lahar. “Eh jablay, anjing loe …” Kifa
menarik bahu Dyah, dan menjambak rambutnya. Suaranya meninggi meskipun sedikit
purau, “mau loe apa, hah? Loe mau … mau ngehancuri rumah tangga gue, hah?” lanjutnya yang tersedu bersama
isak tangis yang menderu.
“Anjing, loe.
Sakit taek,” jawab Dyah tidak kalah
emosi, “tanyain laki loe. Anjing loe,
apa-apaan coba?” suaranya pun meninggi, ia membalas menjambak rambut Kifa.
Dita merengkuh bahu Kifa, berusaha memberinya
ketenangan. “Entar dulu,jangan emosi dulu. Kan tadi bilangnya mau dibahas
kekeluargaan aja.”
“Diam loe!”
jawab Kifa kalaf, mendorong bahu Dita
ke tembok.
Bruuuuugh. “Aaw.” Jerit Dita kesakitan.
“Sabar, Kifa. Sabar.” Ibu Wiwid menahan tubuh Kifa
yang bergolak menyambar tubuh Dyah.
Dita dengan rasa ibanya, mengambil alih bayi yang
sedari tadi ikut terkoyak-koyak emosi ibunya. Dilepaslah gendongan dari sang
ibu, kemudian ia membawa keponakannya pergi keluar. Ditatapnya wajah para
tetangga yang sedari tadi memerhatikan, seperti halnya film disebuah bioskop.
Ian tak berdiam diri, ia mencoba melerai pertengkaran
yang terjadi. “Neng!” teriak Ian, “kamu itu udah punya suami, hargai aku. Aku masih
suami kamu. Jaga sikap! Jangan kegatelan! Dia itu adik iparmu, bukan oranglain.”
Sentak Ian bersama emosi.
“Wah … si Ian bisa marah ternyata.” Bisik para
tetangganya.
Tetangga yang lain menampalinya, “iya, ya. Serem juga
ternyata.”
“Kasian Mas Ian ya, kerja cap’ek-capek, istrinya
begitu.” Sahut tetangga yang lain, “sabar banget ya jadi Mas Ian.”
“Ih kalau gue
jadi dia, udah gua tinggalin itu bini.” Sahut yang lain tak kalah sinis.
Dita mendengar percakapan yang dibicarakan para
tetangganya. Namun ia hanya diam, masih menimang bayi Kifa yang terus menangis.
Beberapa waktu kemudian, masih kegaduhan itu belum jua
selesai. Orangtua Dyah datang, dan pekarangan rumah
sudah ramai menjadi tontonan gratis tetangga.
Namun kedua orangtuanya tak banyak tingkah, seperti
layaknya orangtua pada umumnya yang ketika melihat anaknya dipojokkan. Lain kini,
dengan orang tua Dyah, mereka justru hanya melihat seperti sesuatu itu sedang
tidak terjadi terhadap anak perempuannya. Ya, hanya beralasan tersabab sakit
yang diderita.
Suasana hening seketika, tatkala kemudian Yoga datang.
“Tuh, tuh …” ucap Safina, tetangga depan rumah Dyah, “Yoga
datang.” Ia menyenggol sikut Rahayu.
“Tau nggak? Kan dia dulu kenangan
masalalunya Yoga. Jadi wajar aja, jadinya begini.” Ujar Nana.
“Husst, diem.”
Sahut Rahayu.
Yoga datang dengan tergopah-gopah, seperti dikejar
anjing. Ia langsung masuk kedalam rumah, menenangkan istrinya. Dipeluknya Kifa,
ditubuhnya yang kekar. Tangis Kifa meraung seperti auman serigala, sembari
memukul-mukul bahu Yoga.
Sementara Dyah, masih menggerutu.
*bersambung
(Maaf ada kata-kata yang sangat kasar ditulisan, tidak bermaksud apa-apa. Hanya sekedar pendukung sikap kalaf dari sebuah emosi para tokohnya.)
#Day15
#30DWC
#OneDayOnePost
Wah seruuuuu
BalasHapusPenasaran nextnya...
Nyari wangsit dulu mba haha
Hapusasyiiiik, lanjutkenn mbak...
BalasHapuseh, kalaf atau kalap ya?
Siap mas dwi...
HapusEh kalap deng mas, autotext itu hahaha.
Mkasih udah ngingetin, nanti saya gnti deh