Sumber gambar: news.lewatmana.com
“Sudahlah, Anne. Kau itu perempuan! Kodrat perempuan
itu di rumah,” suara Ibu Niken, meninggi. “tengok kakak mu itu,” ia berisyarat
dengan telunjuknya. “biar dia seorang lelaki, dia lebih banyak di rumah. Nggak kaya
kamu, hutan, hutan, dan hutan lagi.”
“Sudah biarkan saja, Mah.” Teriak Arnold, dari ruang
keluarga. “Biar dia dimakan binatang buas disana.” Jawabnya dengan terkekeh.
“Huuusst … kalo ngomong yang benar.” Ibu Niken
mengingatkan.
“Mamah, tenang aja. Ini juga bukan kali pertama, aku
ke hutan kok.” Jelas Anne, sementara tangannya berada di bahu sang mamah
menandakan isyarat bahwa; kan baik-baik
saja.
Sementara sang ayah, ia masih mengecek persiapan
senapan pemburuannya. “Anne, kau sudah siap?” tanya sang ayah.
Ia berisyarat dengan jemarinya, menandakan; Oke.
Sang mamah pun hanya
mengangkat bahu, memasrahkan kehendak anak perempuannya.
***
Hutan.
Suasana hening, sejuk namun rimbun dengan pepohonan
yang menjulang tinggi, menjadi tempat empuk pelarian binatang-binatang buas. Tempat
persembunyian dari pemburuan manusia yang picik. Hutan belantara dengan
berbagai jenis binatang.
“Ayah, kali ini kita mau berburu apa?” tanya gadis
bermata sipit, dengan rambut sedikit pirang yang diikat, melihatkan kulit
lehernya yang mulus dan putih.
“Mmmmm …,” jawabnya seakan-akan menimbang jenis
pemburuannya. “ayah dengar kata warga sini, ada binatang buas yang tiba-tiba
turun ke hutan ini. Ayah belum tahu pasti, binatang seperti apa.” Jelasnya.
Gadis berbaju orange-coklat
itu pun mengangguk.
Tidak hanya ada Anne dan sang ayah, ada beberapa orang
yang juga ikut. Ada Paman Ik dengan anaknya Nataulo, Om Rick teman ayah Anne, ada
juga Shira teman Anne yang sama-sama suka berburu.
Mereka ber-enam pun menyusuri pedalaman hutan, sebab
di tengah-tengah hutan lebih mudah menjumpai binatang-binatang buas itu.
Tetiba suara kayu yang patah, seakan terinjak
terdengar tepat dibelakangnya. Bersiap siagalah ke-enam pemburu itu dengan
senapannya masing-masing. ‘Doooooooor’
suara senapan Paman Ik menggelarkan hutan, burung-burung beterbangan dari
sarangnya. “Uh, hampir saja.” Ucapnya.
“Apakah benar, barusan yang ku lihat itu singa?” tanya Anne, memastikan.
Om Rick menoleh ke arahnya, “benar, Anne. Mungkin ini,
yang dimaksud para warga.” Terdiam sejenak. “Karena, baru kali ini dalam
sejarah pemburuan kita bertemu dengan singa, di hutan yang tak jauh dari
perkampungan warga.” Lanjutnya.
“Itu tandanya, kita harus berhati-hati lagi.” Sambung Ayah
Anne.
Sementara disisi lainnya, seseorang terlihat tengah
duduk bersandar dibahu pohon yang besar. Bersamanya terlihat darah yang menetes,
dari betisnya yang besar.
Anne melihatnya seperti meringis kesakitan. Ia pun
meminta izin kepada sang ayah untuk menengoknya memberikan pertolongan.
Dihampirinya seseorang itu, seseorang dengan badan
yang kekar juga rambut pirang. Wajahnya terlihat sangat perkasa, senyumnya
manis meski sedikit terlihat bengis. “Ada, yang bisa saya bantu?” gadis itu
menawarkan diri.
“Betis mu luka, cukup mengeluarkan darah banyak. Kamu harus
segera diobati. Kalau tidak, darah yang keluar akan lebih banyak lagi.” Sergah
seru Shira, yang menghiraukan jawaban lelaki itu.
Anne mengangguk, memberi pemahaman. “Tenang saja, kami
akan membantumu.” Sembari mengeluarkan kotak P3K dari ranselnya.
Segera ia membersihkan luka itu. Sementara sang ayah
dan yang lainnya kecuali Shira, lebih dulu melanjutkan perjalanannya.
Lelaki itu pun mengangkat kepalanya, “terimakasih
sudah membantu.” Sorot matanya berpapasan dengan sorot mata Anne, yang sipit. Keduanya
terjebak dalam tatapan.
“Kau sedang apa di hutan ini, seorang diri?” tanya
Shira menyadarkan tatapan keduanya.
Anne pun tersadar, dia clingak-clinguk salah tingkah. “Kakimu sudah selesai diobati.” Sergahnya
basa-basi, sembari menundukan kepalanya membereskan kotak P3K miliknya.
Lelaki itu hanya terdiam, menghiraukan pertanyaannya.
“Oya, sepertinya kamu bukan orang sini. Siapa namamu?”
ujar Shira.
“Saya, Lian.” Ia menyodorkan tangannya.
Tangan lelaki itu pun dijabat Shira juga Anne.
***
Senja berlalu, berganti malam. Terang temaram
rembulan, hingga pelosok hutan. Auman suara-suara binatang di hutan terdengar, suasana dengan
api anggun juga nyaring jangkring dan kodok menjadi irama. Sesekali suara
bising nyamuk, berkeliling didekat telinga.
“Lian, sepertinya disana ada santapan yang sangat
lezat untuk kita malam ini.” Ujar Cassa, teman Lian.
Akhirnya keduanya pun berusaha mendekat, perlahan
namun pasti. Ia urungkan dengkur suaranya. Semakin terlihat yang dipandang itu
adalah manusia, matanya menemukan sosok yang dikenalinya.
“Cass …” panggil Lian pelan.
Jalannya pun terhenti, “Lihat Lian, mereka manusia.”
Lian hanya menoleh seujung matanya, ia menundukan
kepalanya. “Cass, boleh aku berkata jujur padamu?”
“Ada apa, Lian?” tanya ia heran sedikit termangu.
“Sebenarnya … perempuan yang berada disana …” jawabnya
seperti mengeja, “adalah perempuan yang sudah menyembuhkan betisku yang luka
tadi, dia sangat baik. Aku tidak sanggup menghabiskan nyawanya.” Ia menunduk.
“Apa?” suaranya meninggi, hingga membangunkan kewaspadaan
Anne dan yang lainnya.
“Ku mohon, jangan sakiti dia. Dia manusia yang baik.” Bela
Lian.
Namun, Cassa tak menghiraukan. Sebab baginya, jika
memang ia baik, mana mungkin ia menyakiti hewan lain dengan cara berburu.
“Lian, apakah kau lupa? Bukankah kita diturunkan Raja,
untuk membantu binatang-binatang hidup pada habitatnya. Apakah kau juga lupa,
kita ini adalah kutukan atas kepicikan yang pernah kita lakukan. Tak inginkah
kau sudahi ini?” Cassa kembali mengingatkan dengan janji-janji dan peraturan
yang diberikan sang Raja hutan.
Lian hanya terdiam, bagaimanapun ia masih
mengingat semuanya.
“Lian … kita terkutuk bertahun-tahun menjadi seorang
manusia singa, itu karena apa? Karena apa, Lian?” suara Cassa meninggi. “Karena
kepicikan kita sebagai manusia, yang berburu tanpa rasa tanggungjawab. Membantai
hutan, tanpa pernah kita tahu bagaimana lingkungan habitat asli para hewan. Kau
tak lupa, itu kan?”
Lian kembali membela Anne, dan teman-teman
pemburuannya. Hatinya bimbang, dirasanya apa yang dikatakan Cassa adalah
kebenaran. Namun, disisi lainnya, ia tidak bisa menghabiskan nyawa gadis
berambut pirang yang telah membantunya, sesuatu dalam hatinya berdebar. Bagaimanpun,
nalurinya masih manusia yang berperasa.
“Tapi, Cassa … aku tidak bisa.” Ia memandang Anne,
dari kejauhan.
“Lian, apakah kau mencintai gadis itu?” ditatapnya
mata Lian, dengan tajam.
“Iya, Cassa.”
“Lian! Apakah kau tidak berkaca.
Kau itu manusia singa, dan dia manusia seutuhnya. Kau tidak bisa bersatu.”
Cassa kembali mengingatkan, nadanya getir dan meninggi.
“Kenapa, Cassa?” kali ini, ia membantah. “Kau lupa,
aku juga bernaluri manusia meski tubuhku dapat berwujud singa. Wajar kalau aku
merasakan ini, dan kamu tidak bisa melarangku untuk hal ini.” Jelasnya.
Akhirnya kedua sahabat, manusia singa itu berdebat. “Karena,
aku juga mencintaimu, Lian.” Jelas Cassa, yang akhirnya mengungkapkan
perasaannya.
Lian terdiam, mencoba mencerna perkataan terakhir
temannnya. Saat diam itu, Cassa yang memuncak emosi, perlahan mendekati api
anggun yang terdapat Anne dan beberapa orang lainnya. Ditikamnya gadis itu dari
belakang, dicabiknya dengan taringnya begitu ganas.
Suara teriak nan kaget itu pun menyadarkan Lian dari
ketermangu dirinya. Namun, ayah Anne tak berdiam diri. Diraihnya senapan yang berada
disampinya itu, di tembakannya tepat pada perutnya. Dibantunya oleh Om Rick,
juga Paman Ik.
Darah kini, keluar dari tubuh singa betina itu,
tubuhnya mulai lemas kehabisan darah. Sementara tubuh Anne pun, luka parah
meski kondisinya sangat kritis.
Lian hanya mampu memandang, tak bisa melakukan
apa-apa. Jika ia menemuinya menjadi seekor singa, maka nyawanya pun menjadi
ancaman. Namun jika ia menghampirinya dengan berwujud manusia, pasti mereka
akan menanyakan dari mana keberadaan Lian. Sementara Cassa, disana masih
terkulai meski nadinya masih berdenyut.
Kini Lian, ditampa rasa gelisah, jua bimbang. Sebab
keduanya adalah wanita-wanita berarti
dalam hidupnya, yang tak bisa ia memilih menyelamatkan satu dari
keduanya. Kali ini, dia benar-benar hanya terdiam, menjauh dari kejadian yang
ia lihat. Meski hatinya mulai terasa hampa.
#Days8
#30DWC
#OneDayOnePost
Wow keren imajinasinya
BalasHapusHihihi makasih mba wid,
Hapusnyoba FR.. Entah masuk atau tidak huhuhu
Oooh kasian lian, tak mampu berbuat apa-apa
BalasHapusIya, dia hnya termangu. Pilihan yg berat hihi
Hapuscakep ceritanya, jadi sebenarnya ...
BalasHapusMatur suwun mas yan..
HapusJdi sbnernya lian itu manusia yg terkutuk jadi singa haha
keren imajinasinya ^_^
BalasHapusMkasih kak kifa, teman" yg lain dan kaka lbih keren :)
Hapus