![Hasil gambar untuk cincin seorang diri dari cerai](https://percikaniman.id/wp-content/uploads/2015/01/cerai.jpg)
Sumber gambar: google.co.id/percikan iman online
“Semalam, begadang dari mana kamu?” tanya Pak Heru.
“Biasalah.” Jawabnya acuh.
Pak Heru pun mengeleng-gelengkan kepalanya. “Apa-apaan
ini, Yoga?” melempar ponselnya tepat di wajah Yoga. “Kamu ngehamilin kakak
iparmu sendiri, Dyah itu kakak iparmu bukan orang lain. Dan istrimu itu, adik
Ian, suaminya.” Bentaknya dengan nada keras dan emosi.
“Oh, jadi Kifa cerita. Pantesan aja pagi-pagi udah gak
ada di rumah.” Jawabnya datar.
“Dasar, kamu anak cuma malu-maluin orangtua saja.” Lanjut
sentak Pak Heru.
Ibu Wiwid pun segera keluar dari ruang keluarga,
menemui suaminya untuk mencoba melerai emosinya. “Sabar, Pak. Sabar …” lalu
mengajaknya duduk.
Hening seketika, sementara suara isak tangis terdengar
dari arah kamar seperti berbisik. Ditambah suara nyaring teriakan si kecil,
Wakhid.
“Yoga …” panggil ibu Wiwid, “tadi pagi istrimu datang
kesini sambil nangis. Apa kamu bener udah ngehamilin kakak iparmu?” sudut
Ibunya.
“Enggak lah, Bu. Ngapain coba, gila aja.” Jawabnya
masih dengan santai, karena merasa dirinya benar.
Ibunya memandang heran, “terus, maksud sms ini apa?”
lanjutnya mengingatkan isi pesan di ponselnya.
“Cuma becanda aja.” Jawabnya dengan mimik muka
sedikit menyesal.
Tetiba Kifa pun keluar dari kamarnya, “apa-apaan
begitu, Mas? Becanda macam apa itu?” hatinya semakin teriris, emosinya kembali
pecah, wajahnya memucat, binar air mata yang sedari tadi dicoba untuk di tahan,
tumpah kembali. Ia memeluk harapnya, mencoba mengikhlaskan jika perpisahan
adalah solusi terakhirnya.
Lalu kemudian Ilmi datang, memeluknya dari arah
belakang mencoba memberi dukungan dan kemudian mengajaknya kemballi masuk
kamar. “Kak, yuk kita ke kamar lagi, kasian sama wakhidnya.” Ajaknya
Kifa pun berlalu.
“Bu, sumpah. Itu cuma becanda.” Jelasnya. “Yoga gak
seburuk itu, Bu.”
Ibu Wiwid pun sedikit termenung, sejujurnya hatinya
menepis bahwa Yoga melakukannya, sebab bagaimana pun juga, ia tahu bagaimana
sifat anaknya. Anak yang di kandungnya selama sembilan bulan, dan lahir dari
dalam rahimnya sendiri, yang disusuinya, yang disapihnya dengan penuh cinta. Dibimbingnya,
hingga melihat proses pertumbuhannya sedari ia masih dalam kandungan hingga ia
memberikan untuknya, Yoga junior yang terwujud pada cucunya, Wakhid.
Namun, disisi lainnya. Ia pun tidak habis pikir, jika
yang dilakukan anaknya hanya sebatas becanda. Baginya pernikahan adalah sakral,
bagaimana mungkin ia memainkan karmanya sendiri, keterlaluan yang tak berganda.
“Becanda sih becanda, Yoga. Maksudnya apa kaya gitu?”
Ibu Wiwid pun kembali menodong, kali ini ia bersikap netral.
“Keterlaluan kamu!” kepalan tangan Pak Heru mendarat
tepat dipipi kanan Yoga. ‘Preeeeet’
Yoga terdiam, sembari
memegang pipinya.
Sementara Ibu Wiwid, meringis melihat anaknya
tertampar suaminya. Namun, ia pun hanya diam tak banyak yang dilakukan. “Udah,
Pak. Udah.”
“Sumpah, demi Allah Ibu. Yoga cuma becanda.” Jawabnya berusaha
jujur, sebab bagaimana pun ia tidak pernah bisa berbohong kepada Ibunya.
“Awas aja kamu, bakal di arak sama warga. Di telanjangi keliling kampung.” Sergah Pak Heru.
“Aku gak takut, Pak. Karena aku gak pernah ngelakuin
apapun, dan itu cuma becanda.” Jelasnya yang
sedikit meringis, menahan sakit akibat tamparan yang dilucutkan
bapaknya.
“Nanti, kita akan tahu kebenarannya setelah kita temui
Dyah.” Ujar Ibu Wiwid.
“Ya, Ayo.” tantangnya.
*bersambung
#OneDayOnePost
#DomesticDrama
Si kecil gak diciumin lagi?
BalasHapusMakanya jangan rewel wkwk
HapusWah makin seru ini. Yang biasa bilang sabar..sabar..itu..uncle Ik.
BalasHapusIyatah mba wid?
HapusBoleh ah, nanti dimasukin nama uncle. Tp jadi apa yah? mmm