Rabu, 27 September 2017

Aku, Kau, Kita dan Rindu

Suatu ketika selepasku berlibur, aku masuk ke suatu pondok pesantren dimana disana tidak membolehkanku mengenakan celana, hari itu tepatnya minggu 10 juli 2011. Memang, tentu aku mendapatkan sambutan dari santri lainnya yang memang itu adalah salah satu tetanggaku yang lebih dulu masuk pesantren. Rasa risih, dan malu saat itu tentu ada. Aku hanya berkawan yang memang sebelumnya pernah bertemu. Aku kira, akulah santri yang paling datang terlambat masuk hari minggu jam 11.30 siang kala itu. Perjalananku menuju tempat baruku begitu ekstrim. Kala itu, jalan yang luar biasa yang jika kau melewatinya akan terus beristigfar setiap saat, tentu hal itu juga yang membuatku tidak ingin melanjutkan perjalanan. Tapi tetep saja lanjut.
          “Hai Rene, selamat datang disini..” sapa santri lain yang juga tetanggaku “Maaf ya, berantakan. Jangan kaget ya”. Lanjutnya
Aku hanya diam tersenyum menandakan kemakluman.
           “Persiapan apa aja untuk acara MOS besok mi?” tanyaku kepada ami yang juga 1 SMP
Ami memberitahu ku segala yang kubutuhkan untuk MOS –Masa Orientasi Siswa- besok. Lalu selepas itu aku pergi keluar dengan mengenakan sarung, untuk kali pertamanya. Dan membeli kebutuhanku untuk besok. Selesainya ku persiapkan itu, aku berpamitan dengan ibuku yang pada saat itu mengantarkan aku ke Pondok Pesantren. -Pondok Pesantren Tahfidzul Qur`an Al-Mushhafiyah-. Dan inilah kali pertamanya aku berada jauh dari orangtua, dibelajarkan menjadi mandiri, mengerjakan segala sesuatunya sendiri tidak bergantung kepada oranglain. Meski ku badung, tentu aku selalu membantu mengerjakan tugas ibu dirumah walau hanya yang ringan-ringan saja. Dan hal itu juga yang membuatku tidak kaget untuk berada di Ponpes ini, dengan segala tugasnya nanti. Hanya saja waktu yang ku kagetkan. Sungguh tidak ada waktu yang terbuang sia-sia. Tidak ada nonton TV, maupun bermain HP. Meski ada dispensasi waktu pegang HP untuk santri baru, Namun tetap hal itu hanya berlaku 1 minggu, selepas itu kita hanya di bolehkan pegang HP sesuai jadwal pengembalian dan pengumpulan HP. Dan itu terjadi sekitar pukul 13.00-15.00, tentu hanya 2 jam setiap harinya, namun lain ceritanya bila libur.

       -Sempatku lupa, perkenalkan namaku Irene usshy herawati. Aku anak ketiga dari 4 bersaudara. Pertama masuk SMA, usiaku 14 tahun-. Waktu dhuhur tiba, tidak banyak kegiatan di ponpes ini karena memang waktu masih libur. Datanglah calon santri baru, namanya Reni Listati. Sama-sama datang paling terakhir, akhirnya ku beranikan diri mengajaknya berkenalan.
Singkat cerita
Semua berawal dari sini..

Senin, 11 juli 2011
Inilah hari pertamaku masuk sekolah MA –sederajat SMA yang berbasis Madrasah-. Kami memulainya dengan penuh kedisiplinan sebab sekolah kami tidak ada upacara yang ada hanya tadarus Al-qur`an, bersholawat dan menyebut asma Allah setiap harinya. Kami masuk pukul 07.00 itu sebabnya pukul 06.45 kami harus sudah bersiap didepan halaman sekolah. Dan untuk kali pertamanya, aku harus bangun pagi-pagi sekali untuk mengantri mandi. Aaaarrrrghhhh rasanya sungguh menyebalkan ! Atau memang mungkin, dikarenakan juga belum terbiasa.

Acara MOS berlangsung seperti biasa, tidak ada hal yang menarik, pikirku. Pembagian kelompok, pengenalan sekolah, guru dan kawan-kawan. Nampak seperti biasa saja. Begitupun sama juga dalam Pondok. Kegiatan baru akan mulai diaktifkan kembali setelah sebelumnya diliburkan sementara, pembagian tugas masak dan nyupir –nyuci piring-.
            “Gimana MOS-nya?” Tanya kak Andi –salah satu panitia MOS-
            “Biasa aja kak” jawab kami datar tanpa semangat.
            “Oke-oke. Kalo begitu, kita permainan aja di kelas ini yahh ?” lanjutnya
            “Nah gitu dong kak, dari tadi?”. Teriak salah satu siswa di pojok ruang kelas
            “Kita bermain darat, laut, udara ! ada yang tau gak permainan ini?”
Semua orang nampak acuh tak mengerti. “maksudnya tuh begini yah, kalo kakak bilang dan berhenti di kata darat. Berarti kakak harus nyebutin hewan-hewan yang ada di darat, gitu. Ngerti nggak ?” jelas sang kakak senior.
           “ Oooh yang kaya gitu, iya ka ngerti”. Jawab kami serentak tanpa komando
           “Mulai aja yaa”. Ajaknya “udara laut darat, udara laut darat. Laut ! (suara mengagetkan) –menunjuk menggunakan penghapus papan tulis-
Sontak terkejut, kawanku Faiz lama berfikir hingga kehabisan waktu itulah alasan dia mendapatkan hukuman permainan. Meski banyak yang lolos dalam permainan ini, tetap saja ada beberapa orang yang mendapatkan hukuman termasuk diriku.
           “Udara laut darat, udara laut darat. Udara !
           Sontak ku terkejut dan refleks mengatakan “bebek, ayam” jawabku
Tidak ada yang tidak tertawa kala itu. Karena salah penyebutan itulah aku akhirnya mendapatkan hukuman permainan, sebab yang kufikirkan saat itu tentu tentang darat.
Ada 4 orang yang mendapat hukuman, 2 wanita dan 2 pria. Hukuman diserahkan kepada para peserta MOS, dengan fasilitas seadanya di ruang kelas. Karna kala itu hanya ada bunga, dan beberapa lukisan. Maka yang dipilih tentu bunga. Dan dengan bunga itu, 2 kawanku yang laki-laki itu dimintai untuk mengatakan cinta kepada kami yang wanita. Arif kepadaku, dan Fais kepada Helena. Aaaaah so sweet sekali waktu itu, dan sampai kami lulus pun terkadang masih iseng dengan pertanyaan: “kenapa waktu itu gak beneran aja yah??” hahaha. Aku selalu menjawabnya dengan tawa.
Kita tinggalkan masa MOS
         Masuk pada hari kamis, 14 Juli 2011. kita mulai memasuki kelas X, dengan mengenakan seragam abu-abu putih khas anak SMA. Gelak tawa terpancar dari sudut ruang. Kita mulai berkenalan kembali secara keseluruhan dan mencari tempat duduk yang kosong. Tentu beberapa bangku di baris terakhir telah terpenuhi. Jadi ku ambil disisi kedua arah pintu masuk didepan, bersama Mia ku duduk bersama. Setelah MOS kita tidak ada materi karena memang para guru tidak memberikannya langsung, untuk kami pelajari disebabkan suatu kondisi yang belum kondusif. Di tengah penerimaan siswa/siswi dan santri baru tengah dilakukannya pembangunan Madrasah.
Mari dengarkan dan akan ku ceritakan,
“… Sekolah ku dulu mungkin tampak seperti bukan sekolahan seperti yang lain, sebab kala itu hanya ada 2 ruang kelas disana dan 2 ruang lainnya sedang dalam proses pembangunan. Dimana salah satu ruangnya ada kantor dan kelas XII yang di satukan bersebelahan. Tidak ada kantin tepat disana, yang ada hanya warung warga sana dan diseberang jalan. Letak ponpesku tepat dibelakang  sekolahan, later L mungkin itulah sekolahanku, dengan halaman kecil disana tanpa tiang bendera, dan halaman kecil dibelakang sana tempat biasanya kami menjemurkan pakaian, dan bermain takraw. Miris tentu bila kau dengar, sesederhana itu kami berdiri disana tentu hal itu menjadi pertimbangan banyak orang untuk menempatkan anak-anaknya disekolah kami ini. Sekolah yang mungkin tidak akan pernah kalian lirik sebab memang tempatnya berada di diskotik –disisi kota saetik(sunda)-. Ini adalah tetangga kecamatan dari desaku. Yang siswanya hanya berjumlah kala itu tidak lebih dari 100 orang dari keseluruhan kelas. Kelas XII, berjumlah paling sedikit yang hanya memperoleh 9 siswa. Tapi inilah perbedaannya, dengan jumlah yang sedikit ini, kami mendapatkan kekeluargaan sepenuhnya yang mungkin tidak kalian dapatkan di sekolah. Lihatlah kami tidak ada yang tidak mengenal satu sama lainnya, meski begitu sekolah kami tentu bukan hanya orang-orang asli warga sana yang bersekolah seperti sekolah lainnya, ada dari daerah lain termasuk Ciamis dan Lampung. Dan tidak hanya orang-orang seperti ku yang bermasalah dengan perekonomiannya yang bersekolah di Sekolah kami, namun ada beberapa orang disana yang justru mampu dan sanggup untuk membiayai sekolah anaknya yang jauh dari ini yang mungkin besar biayanya. Pun meski begitu, sekolah kami menjadi satu-satunya sekolah yang telah mendapatkan SK Menteri se-Cilacap Barat. Banyak sekolah-sekolah lain yang menanyakan perihal cara perolehan SK itu kepada pemilik Yayasan, yang tak kujelaskan disini. Tetapi kami tidak berkecil hati, meski dengan kesederhanaan tetapi kami tetap punya mimpi yang besar yang tentu untuk sebuah perubahan yang lebih baik.
Setiap orang pasti pernah berada dititik jenuhnya, begitupun dengan diriku yang mungkin agak sedikit malu untuk mengakuinya. Sempat ku katakan aku tidak sanggup melanjutkan sekolah dengan keadaan seperti itu, sempatku putuskan untuk minta pindah sekolah bahkan untuk berhenti melanjutkan sekolah. Namun ku lihat binar mata kedua orangtuaku, mereka menaruh harapan besar kepadaku, dengan segala kekurangan mereka, mereka tetap memintaku untuk tetap bertahan dan melanjutkan sekolah. Kau tau aku begitu egois terhadap diriku.
Waktu berjalan memberiku sebuah pengertian. Aku tetap melanjutkan sekolah, meski mungkin rasa marah ku harus tertahan, aku selalu berfikir mereka tidak mengerti apa yang ku inginkan. Aku selalu dibuatnya merasa terkekang dan terpenjara. Aaaaaah seperti itulah keegoisan dulu. Tidak berhenti disitu saja, kala itu adalah musim kemarau. Dimana di tempat tinggalku ini mulai kekeringan air. Setiap pagi kita berjalan keluar Pondok ke rumah warga  setempat hanya untuk sekedar membersihkan diri, kita menyingkat waktu ngaji dipagi hari. Air yang ada hanya cukup untuk masak dan minum. Setiap siang sehabis pulang sekolah, kita selalu memanfaatkan waktu untuk mencuci baju. Perjalanan yang mungkin amat melelahkan bagi kami, naik turun membawa baju di ember mencuci dari air sungai, yang kala itu masih lumayan deras meski musim telah kemarau. Kali pertama mencuci baju di alam bebas, seperti diajarkan kembali bagaimana caranya mencuci. Di tengah teriknya matahari, di tengah lelahnya aktivitas di pagi hari. Sungguh semua sangat melelahkan. Aktifitas kami juga tidak berhenti disitu, saat ngaji libur ataupun jam pelajaran sedang kosong maupun sedang istirahat, kita selalu membantu proses pembangunan bahkan sempat ku katakana pada kawanku, -ini baru namanya sekolah pembangunan, dari ngangkat batu, mindahin batu bata, sampai bawa pasir yang udah di campur semen, aaah baru kali ini gua sekolah kaya gini, cepat kelar aja dah, cape-. Bahkan ritual tidak mandipun sudah menjadi makanan sehari-hari, jadi sudah hal biasa jika kami hanya mandi dipagi hari ataupun sore hari saja”

Yah, tapi dari cerita lama itu. Kini, diriku mengerti. Perjuangan memang tak pernah mengkhianati hasil. Aku mendapatkan beasiswa S-1 di Jogjakarta, teman yang lain tersebar di beberapa Kota Provinsi, Semarang dan Bandung. Ada juga di Purwokerto, Wonosobo dan lainnya. Kami memiliki ikatan batin dan support yang luar biasa dari semua pihak keluarga besar “Al Mushhafiyah”. Saat masa pembangunan itu mengajarkanku arti sebuah kerjasama, gotong royong dalam kebersamaan, demi meniti masa depan dengan sikap yang lebih bijak dan pastinya kesederhanaan pula mengajarkanku untuk mencapai yang tinggi kita harus memulainya dari Nol, tidak instan dan berproses. Merangkak dengan penuh keyakinan, bahwa Allah menjanjikan dua hal sekaligus: “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”. (QS. 94:5-6)

Pengalaman yang berkesan yang pada akhirnya mengantarkanku disini berdiri disebuah Gedung Tinggi, mengejar cita-cita yang hampir mustahil dulu.

-Renee Usshy-
Jakarta, 27 September 2017

*Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tantangan pertama, ODOP Batch 4

4 komentar:

One More

“Dek, dengarkan ini.” Ucapnya. Lalu aku terdiam, tunduk mendengarkan. Bukan terkadang membahas rasa, tapi ia tak pernah berhent...