Sabtu, 30 September 2017

Aku harus Pergi (Part-2)


Rasti u padovima

Suatu hari, seseorang menghampiri diriku dan bercerita: ".... San, kemarin aku lihat kamu lagi jalan berdua sama Fizi. Kok kamu buka kerudung?" Tanya temanku, Lusi.
"Ah kapan?" Tanyaku heran
"Kemarin sore di Taman A" Jelasnya
"Jangankan jalan berdua, bertemu aja belum kok. Salah liat kali..." Pangkasku
"Ya, aku juga agak heran sih San.." Terdiam. "Jadi, kalo bukan kamu. Siapa dong?" Lanjutnya bertanya
Aku hanya mengangkat bahu, tanda tak tahu.

***

Aku menjadi terbiasa mengalah untuknya, menunggu kejujurannya. Entah mencari kebenaran seperti apalagi yang membuatku dapat pergi lepas darinya, semacam ku terikat tapi terlepas dan sebaliknya.

Aku mulai meronta pada keadilan cintaku, meringis pada rindu hatiku, dan kembali mengemis pada ujung harapku. Sedari dulu aku mengaguminya karna sikapnya, kini aku bahkan malu untuk mengakui bahwa Ia pernah menjadi satu-satunya barisan nama yang paling sering kusebut. Meski tak dapat kubohongi, memang Ia pernah singgah begitu dalam. Bukan ku tak lagi mendambanya, tapi kepercayaan itu mahal harganya.

Aku memilih diam dalam kebisuan kekecewaan, tanpa kembali ku raup harapan.
"Kamu kemana aja?" Tanya Ia melalui pesan.
Aku membuka pesannya tak seperti dulu, tak lagi ku balas cepat dan kubiarkan sejenak.
"Kamu sibuk?" Lanjutnya
"Tidak" Yang kemudian kubalas singkat tanpa basa basi
"Darimana aja sayang, kok baru bales?" Jawabnya seolah memberi simpati
Aku diam, sengaja tidak membalas pesannya. Acap kali Ia memberiku perhatian, hatiku mulai meronta menolak kehadirannya. Sedikit meringkis sesal, kecewa, namun ku akui ku rindu hadirnya. Ia kini sulit sekali untuk kutemui.

Aku ingin hadirnya, tapi kubenci dirinya. Empat bulan berlalu, kami melewatinya dengan LDR -Long Distance Relationship-. Aku mulai memaafkannya kembali, tersebabkan Ia mengakui kesalahannya. Hubungan kami kembali, tak diujung waktu. Ia menyesalinya. Manis, iya bahkan manis seperti dulu. "Kini Ia berubah" Pikirku. Akupun mulai membuka kepercayaan kembali untuknya, meski tak sepenuhnya dulu.

Entah karna alasan apa, aku memberinya kembali kepercayaan yang pernah tersiakan sebelumnya. Hatiku bahkan sanggup untuk memaafkannya kembali, atas luka yang tak dapat kupungkiri sakitnya. "Ah, Ia-pun berhak untuk mendapatkan kesempatan kedua". Jelasku meyakinkan diri.


Bersambung.

Sumber gambar: Rasti u Padovima

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One More

“Dek, dengarkan ini.” Ucapnya. Lalu aku terdiam, tunduk mendengarkan. Bukan terkadang membahas rasa, tapi ia tak pernah berhent...