Minggu, 01 Oktober 2017

Aku harus Pergi (the End)

Tanpa pernah kembali merasa curiga, aku memilihnya menenggelamkan perasaan kecewaku tersebabkan ku tak ingin terganggu dalam hubungan yang kedua ini. Entah rasa iba yang seperti apa, atau mungkin ini kelemahan wanita yang mengandalkan perasaan. Sekali ku dikecewakan masih kumaafkan, meski kecewa tak menutup hatiku tuk katakan tidak.

***

Jakarta.

Aku pergi ke Kota, menikmati libur musim panas.
Kembali kulirik HP, menanti sekedar pesan yang mengatakan "Hai" Misalnya.
Tujuh hari berlalu. Hubunganku kembali menjadi permasalahan, hanya karna diriku berada di Kota ini. Tiap hari ku terima pesannya, hanya bertuliskan "Jangan lama-lama di Jakarta, cepetan pulang. Aku kangen" Tulisnya
Entah kenapa, aku benci pesannya yang ini. Dia selalu menuntut waktuku, semua hal sepele Ia permasalahkan. Hingga kusadar aku tak mampu lagi untuk meneruskan hubungan ini. "Harusnya aku menyadari ini sejak dulu" Cakapku pada hati yang mulai sesal.

Keesokan harinya. Ku buka media sosial, facebook. Tertera satu nama, yang tak kukenali, mengucapkan "Terimakasih sayang" pada timeline kekasihku, Fizi. Fikiranku menyeruak, hatiku kembali terpecah. Kecewa itu semakin dalam, tanpa sadar aku meneteskan air mata. Bukan karna rasa sakit yang kedua kalinya, tapi karna rasa sesalku memberinya harapan tanpa penjaminan. Aku terlukai harapan yang semu, aku kembali menjadi kepingan hati yang tak mampu lagi kusatukan kembali. "Esok ku kan pulang" Lanjutku

***

Aku kembali. Kutemui kekasihku meminta penjelasan. Namun sekali lagi, Ia menjelaskan kebohongan yang membuatku semakin yakin untuk melepasnya. Perihal alasan apapun yang Ia utarakan. Ia selalu menolak, hubungan kamipun tergantung tanpa arah. Aku mulai lelah menyikapi sikapnya yang selalu ingin dimengerti, mulai bosan dengan janjinya yang garing dan membenci terus bertengkar dengannya tiap waktu. Hingga aku sadar, aku juga perlu bahagia.
"Maaf, aku mau kita putus" Pesanku terkirim
"Apaan sih kamu, dikit-dikit minta putus. Aku udah bilang, aku gamau putus" Balasnya
Aku membisu. Kalo diingat-ingat, ini perkataan putus yang ke-7 kalinya. Dan selalu mendapatkan jawaban sama.
"Ah putus tak perlu persetujuan darinya" Pikirku seketika
"Terserah saja apa katamu" Kembali kubalas pesannya tanpa tangisan yang mengusik "Maaf, aku gak bisa terusin hubungan ini. Aku harus pergi. Selamat untuk kalian, semoga bisa langgeng ya" Lanjutku.
Ia tiada merespon.

Seminggu berlalu.
Ia menghubungiku kembali "Happy Anniv ke-15 sayang, jangan ngambek-ngambek muluk yaa" Tulis pesannya yang begitu manis.
Yang ku balas "Oh, kamu dan dia" Selamat yah"
"Apaan sih, orang ke kamu kok" Balasnya dengan sedikit emosi
"Maaf, aku bukan lagi kekasihmu. Kita sudah putus. Biarkan aku melewati hari-hariku tanpa usikanmu" Kubalas dengan tegas
"Aku minta maaf sayang, aku udah putus sama dia. Dia ternyata selingkuh" Dengan tanpa merasa bermasalah Ia ceritakan itu.
"Aku bukanlah pelarian, akupun berperasa seperti wanita lain. Hatiku bukan baja, menerima kesalahan dan kekecewaan yang terus menerus. Kau tahu sekarang gimana sakitnya, lalu bagaimana dengan aku? Apa kamu memikirkan hal ini sebelumnya. Maaf, aku harus pergi. Kutemukan bahagia dengan caraku sendiri tanpa pernah membuat orang tersakiti. Aku sudah tak perlu kejujuranmu saat ini, simpan semuanya. Biarkan ia menjadikanmu dewasa" Lanjut yang kusambung dengan telefon.
Ku mendengar ada isak tangisnya disana. Yang kusambung tutup mati handphone-ku.

***

Ketika hatimu mengatakan tidak, maka ikutilah kata hatimu. Karna ia yang paling tahu mana hati yang sama. Rumput tetangga memang selalu nampak lebih indah, tapi jangan lantas terpukau. Sebab kamu tidak pernah tahu, perjuangan seperti apa yang tetanggamu lakukan. Jangan terlalu mengandalkan perasaan, seorang wanitapun berhak memikirkan berdasarkan logikanya. Sebab kepercayaan mahal harganya.
"Tak usah engkau sesali...
Semua sudah tak berarti...
Kini aku akan pergi...
Mungkin untuk selamanya...
Ku takkan pernah kembali...
Membawa luka di hati...
Kau takkan pernah temui...
Cinta sepertiku lagi..."

(-Vagetos, Maafkan kuharus Pergi-)


Terdengar suara radio diluar sana.

Selesai.

7 komentar:

One More

“Dek, dengarkan ini.” Ucapnya. Lalu aku terdiam, tunduk mendengarkan. Bukan terkadang membahas rasa, tapi ia tak pernah berhent...