Kamis, 26 Oktober 2017

Promise

Ia terbangun setelah keadaan tak sadar.
"Doni mana Mah,?" teriak Siska hingga terdengar keluar ruang.
"Tenang Sayang ...." Mamahnya menenangkan "Kamu istirahat dulu yah, jangan mikirin apa-apa dulu"
"Tapi Mah .... "
Mamahnya menundukan kepala seakan memberi isyarat, 'sudahlah Nak.'
Akhirnya Ia pun terdiam, kembali berbaring dikasurnya. Dengan mata yang masih sendu, juga dengan balutan kain kassa mengikat dikepala. Namun tak dapat dipungkiri, ia terlihat seperti memikirkan Doni, tunangannya.

Sementara Doni, ia terkulai lemas tanpa gerak dengan kabel-kabel oksigen juga kabel infus disisi tangan kanannya. Hanya terdengar bunyi-bunyi alat medis yang menempel ditubuhnya, diruang khusus yang disebut ICU. Tubuhnya tak bergerak, ikatan dan balutan kain kassa hampir mengikat sebagian tubuhnya. Diluar ruang itu, hanya terdengar panjatan doa dan sesekali tangis dari sang Ibunda.

"Bagaimana Dok? Sudah ada perkembangan untuk anak saya?" Tanya Ayah Doni pada seorang dokter.

"Maaf Pak, sampai sekarang kondisi anak bapak masih kritis. Kita masih berusaha mencari donor darah yang pas untuk anak bapak. Kebetulan stok darah AB- di Rumah sakit ini sedang kosong" Jelas pak dokter yang menangani anaknya.
"Lakukan yang terbaik untuk anak saya. Berapapun biayanya akan saya bayar" Jawabnya
"Tim kami akan melakukan yang semaksimal mungkin untuk anak Bapak. Yang sabar ya Pak, Bu. Tetap berdoa" Lanjut sang Dokter yang kemudian pergi.
Ibunya hanya terdiam, Ia hanya fokus pada jendela kaca ruang ICU anaknya, ia menatap dengan luka juga dengan kasih seorang Ibu yang sesekali tangisnya berucap.
"Ibu sabar ya bu, Doni anak kita kuat. Dia pasti sembuh dan segera pulang ke rumah" Suaminya berusaha menenangkan dan memeluknya.

Keluarga calon besanpun menghampirinya memberi semangat.

"Doni pasti sembuh Jeng" Mamah Siska memberi semangat.
"Apakabar Siska, Jeng?" Tanya ibu Doni
"Sudah tersadar, tapi Ia memanggil Doni terus. Saya minta dia buat istirahat kembali"
Ibunya Doni hanya terdiam.

***

Keesokan harinya, Siska sudah pindah ruangan di ruang rawat inap biasa. Namun karna syok nya, ia masih perlu bantuan kursi roda untuk berjalan. Sesekali ia berjalan kearah ruangan tunangannya, melihatnya yang terkulai lemas dengan kabel-kabel oksigen ditubuhnya. Komanya sudah hampir sepekan, sedangkan donor darah masih belum didapatkan. Matanya membelalak melihat jari tangan Doni mulai bergerak.

"Tante Acel ...." Teriak Siska memanggil ibu Doni "Tante tante .... " Seakan ingin memberitahukan sesuatu yang Ia lihat.
"Kenapa Sayang, ada apa Nak?" Jawabnya dengan panik.
"Doni, tante. Ia sadar. Tengok itu ..." ia menunjukan tangannya kearah ruangan Doni.
Ibunya pun segera memanggil dokter, untuk segera memeriksakan kondisi Doni. Dokter segera datang, dan langsung memeriksa kondisi Doni.
Semua keluarga pun seakan menanti jawaban, dan saling beranggapan bahwa sinyal kesembuhannya sudah nampak.

Dokter mulai ngecek kondisi Doni dengan dibantu dua orang perawat, dimulai dari cek denyut nadinya, cek aliran detak jantungnya pada komputer medis yang berada disisi kiri perawat. Sementara perawat yang lain, membantu memberi alat pemancing detak jantung.

"Kondisinya menurun drastis, Dok" Ungkap salah satu perawat
"Bawa alat itu," dengan cemas menunjuk kearah alat pemancing detak jantung.
Lalu dokter mulai menempelkannya kearah dadanya Doni, dan mulai mengangkatnya lalu menempelkannya kembali dan diangkat kembali hingga tiga kali. Dokter mengecek kembali matanya dengan senter kedokteran, mengecek mulutnya, lalu tak lupa pula mengecek nadinya.

Sementara diluar, semua keluarga masih menunggu dengan harapan kesembuhannya. Namun ternyata, takdir berkata lain. Dokter memperhatikan jam tangannya, dan mulai menggelengkan kepala.

"Sus, catat waktu meninggalnya dan kamu," berkata pasa suster yang lainnya "Bantu lepaskan semua alat ditubuhnya. Ia sudah tiada". Lanjutnya "Sementara saya temui keluarganya."
"Baik Dok" Jawab dua orang suster tadi.

Dokter keluar memecah khawatir semua orang.
"Bagaimama keadaan anak Kami, Dok" Tanya Ayah Doni.
Dokter terdiam sejenak mengatur nada "Kami minta maaf Pak, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi ternyata takdir berkata lain. Anak Bapak sudah tiada" menunduk dan segera pergi.
Kekhawatiran semua orang terpecah menjadi tangis, ternyata apa yang dikhawatirkannya kini menjadi kenyataan. Doni telah tiada. Satu per satu, semua orang masuk ruang ICU itu memeluk Doni yang terbaring tanpa nafas. Sementara Siska, memukul-mukul kakinya dengan sesal bersama tangis kehilangannya.

***

Di malam itu bersama lagu Ada band -Manja-.
Ceritanya kembali mengingatkan pada sang Ibunda. "Andai waktu itu, aku tak memintanya untuk menambah laju jalan motornya. Mungkin keadaanya tidak seperti itu Mah."
"Sayang .... semua sudah menjadi takdir, kita nggak bisa terus memaksa menggenggam pada tangan kita. Kejadian itu sudah hampir 5 tahun lalu. Apa kamu tidak ingin membuat kehidupan baru, Nak? Ia telah berdamai dengan takdirnya. Ia telah bersama sang Pencipta" Tanya ibunya
"Iya Mah, aku tahu ...." terdiam bersama tangis yang semakin menyendu "Tapi aku belum memikir kembali untuk menikah Mah" Lanjutnya
"Ya sudahlah, Nak" Memasrahkan keputusan anaknya, dan memeluknya erat.
Tangisnya masih saja membasahi pipi "Doni, bagaimana mungkin aku menikah dengan yang lain sedangkan janjimu bersamaku masih mengikat dicincin tunangan ini" Meraba cincinnya "Bagaimana mungkin aku dapat mencari penggantimu, sementara kamu selalu ada disini bersama tiap nafasku." Dalam benaknya bersama tangis juga sesal.

Angin malam berhembus memasuki celah kamarnya, bersama kerinduan yang tak lagi bertemu, jua bersama janji yang tinggal mimpi. Lirihnya mulai merasuk pori-pori kulitnya. Membawanya tertidur bersama tangis yang kini membuat matanya sembab.

Selesai.

4 komentar:

  1. Nyesek bacanya.
    Saya suka konfliknya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. termasuk ke jenis flash fiction bukan sih bang?

      Hapus
    2. Ini terlalu panjang untuk ff. Ceritanya sedih ...

      Hapus
    3. Untuk jenis Ff brapa kata umumnya mba vin?

      Hapus

One More

“Dek, dengarkan ini.” Ucapnya. Lalu aku terdiam, tunduk mendengarkan. Bukan terkadang membahas rasa, tapi ia tak pernah berhent...