Sabtu, 07 Oktober 2017

DENGAN HATI (Dalam Kenangan)

Seperti kuterbangun pada mimpi panjang yang begitu indah, lalu kembali  tidur berharap kan terulang kembali. Tapi ternyata tidak. Mimpi bukanlah episode yang bersambung, tapi selesai dalam sekali tak terulang. Jikapun menyambung, kupastikan hanya terbawa perasaan dari bunga tidur.
***
Dahulu …. Aku dapat menceritakan kepadamu tentang hari-hari yang kulalui, tapi hari ini ku ceritakan semuanya pada setiap kanvas putih dengan pena yang kau beri. Kau tau, aku kini tumbuh menjadi seorang gadis yang mandiri, meskipun begitu aku tetap menjadi cengeng kala mengingatmu.

Tahukah wahai? Aku rindu pundak untuk berbagi, rindu tangan untuk menyeka air mata. Aku masih rindu dengan mentari menyambut pagi bersamamu. Semua orang memang bersamaku, tapi hatiku tak bersamanya. Kala luka mulai menggores dan tinggalkan bekas, kau selalu kuatkan aku dengan “Sabar ya Sayaang ….” Kau beri satu janji yang kuyakini hingga saat ini, “Orang yang Sabar akan bersama dengan yang terbaik, tetaplah dengan hati”. Aku tak mengerti itu, tapi kuyakini hingga saait ini.

Pernah suatu ketika, aku berada disebuah sidang kecil atas fitnah yang ditodongkan terhadapku. Aku tertodong, aku seperti dijebak , aku seorang diri membela nama baikku, padahal disana ada orang yang memberitahu kepadaku tentang kebenarannya. Ia hanya terdiam, tak ada pembelaan untukku yang akhirnya menuturku berada dilingkup sidang itu. Sejak saat itu aku benci dia, tak peduli siapa Ia dalam status keluargaku.

Karna hal itu, fikiran dan hatiku kembali kacau. Benci, dendam semakin menjadi hingga masalah itu membuatku sakit berkepanjangan dan dokter mengatakan memvoblnis diriku mengidap sakit kanker paru-paru stadium lanjut. Seketika itu, semua seperti mimpi. Awan menghitam, langit bak menutupi bumi, hari-hariku bagai mati seakan semua hampir berakhir. Aku menghabiskan waktu untuk menangis dalam beberapa hari, untuk menguatkan diri.  Meski pada akhirnya kuberdiri sendiri dengan harapan bahwa keajaiban itu ada.

Bunda …. Bunda selalu khawatir, tatkala dengar lirih suaraku. Bahkan aku sendiri tak mampu  untuk berbicara dengannya tersabab sakit dan kenyataan itu benar adanya. Ayah …. Ayah yang pura-pura tangguh untuk mensupport diriku, ku tau itu. Tiap hari, sesak semakin menjadi, darah demi darah selalu keluar tak pasti. Tidak hanya sekedar liur yang berdarah, acap kali jarum suntik itu melukai lenganku setiap itu juga darah tak pernah berhenti untuk keluar. Aku mulai lemah, tak ada mimpi panjang seakan aku tak lagi mendapatkan kesempatan tuk hidup. Aku berada dalam kidung kebekuan.

Saat nafas semakin terasa sesak akan perlakuan hidup untukku, saat saudara tak mampu lagi kupegang amanahnya, dan saat semua semakin terasa sedu. Kau adalah alasan dibalikku tetap bertahan.

Ayah …. Jika memintamu kembali adalah kebenaran yang nyata, aku ingin kita bersua kembali. Peluk hangat diri ini, hapuskan rasa dendam dan benci yang mulai mencederai hati. Biar Bunda dapat terjaga dengan tangan kecilku. Bunda …. Maaf tak pernah mengerti akan arti harunya doamu, bantu ku menghentikan  tangis akan dua kenyataan yang kini kuterima. Kenyataan akan vonis dokter, dan kehilangan Ayah dalam waktu bersamaan.

Aku menghibur diri dengan alasan “Aku kan baik-baik saja” Tapi celakanya, aku tak mampu lalui itu sendiri, aku terluka dipecundangi dunia. Aku rindu kala menanti senja pada terik matahari, berbagi cerita tentangnya yang kukagumi. Kau selalu pandai untuk merayuku, dan aku selalu saja tersipu dan kau selalu mengatakan: “Untuk seorang wanita dewasa, memiliki perasaan cinta terhadap lawan jenis itu hal yang lumrah” Seketika pipiku memerah menahan malu. Iyah, hanya bagian dari meyakini hati tuk menata hati kembali.

Waktu demi waktu, hari demi hari bahkan tahun demi tahun ku lewati  bersamamu tanpa terkecuali. Kau begitu sempurna, seperi rembulan malam ini yang begitu indah. Aku tidak ingin mengatakan bahwa kau telah tiada, sebab untukku kau masih disini bersama cinta yang kau tanam dihati, bersama kasih sayang yang membekas pada diri.


Meski langkahku terseok, kumulai bangkitkan diri mengatakan “Aku harus bisa, aku harus jaga Bunda. Ini janjiku untuk Ayah”. Langkahku kini takkan berhenti, hingga Tuhan mengatakan “Waktunya kamu pulang …”


*Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tantangan II, ODOP Batch 4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One More

“Dek, dengarkan ini.” Ucapnya. Lalu aku terdiam, tunduk mendengarkan. Bukan terkadang membahas rasa, tapi ia tak pernah berhent...