Kamis, 01 Februari 2018

Putih Diatas Hitam : Irfan (Part 2)

Gambar terkait


Kala matahari berada diperaduan, teriknya menyemburat panas pada seluruh isi bumi. Siang itu, lelaki dengan perawakan yang tampan, tinggi, putih berseri, dengan senyumnya yang khas menyapa dengan begitu girangnya. “Kakak datang … Kakak datang ….” Jelas lelaki tigabelas tahunan yang bernama Irfan.

Kakinya menghentak-hentakkan bumi diiringi tepuk tangan kedua tangannya, seakan sangat senang menyambut sang Kakak yang baru datang. Padahal ia hanya kembali dari sekolahnya.

Teriakan seperti mengolok-olokan dan ejekan terdengar, tersaut dari bibir teman-teman sang Kakak. Menyisakan rasa malu pada dirinya. Namun, ia pun tak menutup diri. Sebab apa yang dikatanya adalah kebenaran.

Teman-teman Kakaknya mencoba mengikuti gerakan yang dilakukan Irfan. Namun, lelaki itu hanya tersenyum, girang. Tak mengerti bahwa itu merupakan sebuah ejekan.

Irfan, lelaki dengan sembilan jari tangan itu menyimpul senyum. Meski secara psikis, tubuhnya sempurna. Matanya sipit, dengan kulit putih, seperti orang-orang China pada umumnya. Tetapi dia hanya lelaki sunda yang tinggal di desa, dengan akal yang kurang. Otaknya tak berfungsi, sehingga tak memiliki pikiran.

Bicaranya masih terbata dan tak jelas. Seperti seorang anak batita yang baru saja belajar berbicara. Namun, rasa hormatnya terhadap oranglain adalah sebuah kelebihan yang tidak selalu dimiliki oleh orang sempurna.


*selesai.


#Day22 #30DWC
#OneDayOnePost
#Difabel

7 komentar:

  1. Kita selalu gitu ya Seringnya, mengejek, seolah kita sendiri Mahluk tanpa cela

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya benar mba wid, kita perlu lebih peka dan mncoba mmndang dri sisi kacamata orglain.

      Hapus
  2. Jangan menghina jika tak ingin dirimu dihina, harusnya hal ini ditanamkan pada anak2 sejak kecil ya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. yups betul mba Les..
      harus memulai dari diri kita terlebih dahulu, menerapkan hal demikian serta diajarkan kehidupan sosial yg sbnernya.

      Hapus

One More

“Dek, dengarkan ini.” Ucapnya. Lalu aku terdiam, tunduk mendengarkan. Bukan terkadang membahas rasa, tapi ia tak pernah berhent...